Sejak kecil saya telah didoktrin dengan kisah Nabi Muhammad S.A.W yang pernah ditanya oleh sahabatnya tentang siapakah orang yang harus kita hormati didunia ini. Rasulullah menjawab, bahwa " orang yang harus dihormati didunia ini yang pertama adalah Ibumu, lalu Ibumu, kemudian Ibumu, setelah itu Bapakmu! "
Tanpa bantahan sedikitpun, doktrin tersebut menancap dibenak saya hingga menginjak dewasa. Saya bisa menerima doktrin ini mentah-mentah karena Ibu, Nenek, dan Guru Agama saya memberi penjelasan mengapa Rasulullah bersabda demikian, yaitu bahwa Ibu telah mengandung kita selama sembilan bulan sepuluh hari, melahirkan dengan taruhan nyawnya, kemudian menyusui dan merawat kita hingga kita bisa mandiri, tanpa pamrih dan mengharap imbalan.
Minggu siang 18 Mei 2008, istri saya mulai merasakan mulas dan tidak nyaman pada badannya, terutama bagian pinggang dan punggung. Informasi dari dokter kandungan dan bidan, sesuai HPL seharusnya istri saya sudah melahirkan pada tanggal 17 Mei 2008, ternyata rasa mual dan mulas baru terasa pukul 11:00wib Minggu 18 Mei 2008.
Sambil menonton siaran televisi yang menayangkan MotoGP dan perebutan Piala Thomas di Jakarta, saya dan anak pertama saya ( Nanda ) yang berumur 6 tahun, menemani istri saya yang bolak-balik mengaduh dan meringis kesakitan di tempat tidur.
Saat melahirkan Nanda dulu, istri saya melalui operasi caesar. Setelah berkomunikasi dengan dokter kandungan, proses kelahiran anak kedua diperbolehkan melalui proses persalinan normal. Kebetulan istri saya ingin menjadi perempuan sempurna dengan merasakan melahirkan lewat persalinan normal, maka konfirmasi dari dokter tersebut disambut dengan senang hati.
Mendekati hari Perkiraan Lahir, ternyata istri saya mulai panik dan ketakutan. Cerita tentang sakitnya proses proses persalinan normal sangat menghantuinya. Bahkan dia mulai berubah pikiran, ingin melahirkan secara caesar lagi.
Minggu siang itu, rasa sakit yang mendera menguatkan keinginannya untuk melahirkan secara caesar. Dorongan moril dan motivasi saya tidak mampu mengurangi rasa sakit dan paniknya. Namun saat saya mau ajak dia ke Rumah Sakit yang sudah dia pilih berdasar referensi saudara dan teman-temannya, dia menolak!
Saya berpikir untuk mendatangkan supporter, mencoba menelepon adik perempuan, adik ipar perempuan yang baru melahirkan 3 bulan lau, serta Ibu kandung saya, untuk hadir memberi dukungan moril. Menjelang Maghrib hadirlah supporter tersebut, namun istri saya tidak terpengaruh, tetap panik dan takut taktahan dan tak mampu melahirkan secara normal.
Sekitar jam 19:15 WIB, istri saya merasa ingin buang air besar, lalu dia tertatih-tatih menuju kamar kecil. Sekitar sepuluh menit, dia keluar dan mengaku ada cairan kemerahan yang terasa keluar saat BAB, lalu dia merasa kembali kesakitan pada perut, pinggang, serta punggung.
Berharap keajaiban, saya genggam tangannya sambil berujar, " Ya Allah, ijinkan sakit yang istriku rasakan Kau pindahkan kepadaku!!", ternyata hingga saat saya menulis ini, Rabu 21 Mei 2008, rasa sakit kala melahirkan tak mampu saya nikmati.
Pukul 20:15 Wib, Minggu 18 Mei 2008, istri saya mengajak berangkat ke Rumah Sakit. Berempat bersama Ibu dan Nanda, kami menuju sebuah Rumah Sakit Bhakti Ibu dikawasan Jl.Golo, Umbulharjo, sepelemparan Batu dari Rumah Pak Herry Zudanto Walikota Yogyakarta.
Setiba di sana, dia langsung dibawa ke ruang observasi. Beberapa saat kemudian bidan yang menangani memberi tahu bahwa status istri saya BUKAAN DUA! Menurut teori, proses melahirkan akan berlangsung selama 14 Jam sejak bukaan pertama!! Istri saya disarankan menunggu di kamar inap, dengan tiduran posisi miring, bukan terlentang, apalagi tengkurap!!
Istri saya semakin shock, membayangkan akan mengalami rasa sakit hingga belasan jam ke depan! Saat dibawa ke kamar inap Ruang Sembodro 3, dia menangis dan memohon didaftarkan proses operasi caesar saja karena takut tak sanggup menahan sakit dan tak mampu mengejan saat melahirkan nanti.
Dengan sok tahu, saya yakinkan istri saya untuk meneruskan niatnya menjadi perempuan sempurna, yang merasakan persalinan normal, karena paling 2 jam lagi sudah selesai! Tinggal selangkah lagi!
Ternyata pada pukul 22:00 WIB, istri saya merasa semakin kesakitan, semakin panik, namun tidak teriak atau menjerit, hanya merintih dan menangis. Sayapun lapor ke dokter dan bidan jaga, kemudian dia dibawa ke ruang bersalin menggunakan kursi roda.
Informasi yang saya peroleh, pada pukul 22:05 WIB, status BUKAAN 8, saya diminta masuk ruang bersalin untuk menemaninya. Dengan handycam di tangan kanan, camera digital di tangan kiri, saya abadikan belahan hidup saya menikmati rasa sakit dan panik menjelang penobatannya sebagai perempuan sempurna, wanita seutuhnya.
Dari menit ke menit yang berjalan, istri saya mengungkapkan rasa sakit yang terasa semakin kuat mendera, terpancar dari cengkeraman cakarnya di lengan saya dan seringai kesakitan di wajahnya.
Memasuki pukul 23:10Wib, 3 orang bidan, dokter serta paramedis mulai mengatur properti persalinan berupa besi penopang kaki di kiri dan kanan tempat tidur, gunting operasi yang menciutkan nyali, serta sejumlah tabung oksigen dan Gas entah apa....menyusul hasil observasi yang menyatakan tinggal menghitung menit bayi akan lahir.
Istri saya semakin takut, dan tampak ingin menyerah. Di lain pihak, saya bagaikan psikopat yang sama sekali tak memiliki kekhawatiran, dan optimis semua akan berakhir lancar...malah benak saya justru dipenuhi banyak pilihan nama untuk jabang bayi yang menurut perkiraan alat USG akan terlahir sebagai seorang jagoan.
Mulai pukul 23:20 WIB, istri saya sudah mulai diminta mengejan dan di hidungnya telah terpasang selang oksigen untuk membantu pernafasan.
Pukul 23:25 WIB dua orang paramedis perempuan membantu mendorong perut istri saya, sedang satu orang lainnya bersiap menarik kepala bayi yang kelak akan muncul dari jalan lahirnya.
Pukul 23:30 WIB istri saya telah mengejan untuk ke 4 kalinya, namun belum berhasil menunaikan tugas. Saya mulai sedikit khawatir karena 3 orang bidan, dokter dan paramedis meminta istri saya berusaha lebih kuat dan lebih panjang mengejannya agar bayi yang akan lahir tidak sampai terjepit....sementara saya lihat istri saya sudah terlihat letih luar biasa letih sangat letih terlalu letih...
Akhirnya, setelah mengejan yang ke 7 kali, tepat pukul 23:35 WIB saya lihat ada sesosok bayi mungil ditarik keluar dari tubuh istri saya, dan terdengar tangis khas seorang bayi yang menyesal harus mengakhiri kehidupan di alam damai menuju alam penuh intrik dan goda....dunia fana.
Bersamaan itu, saya bergidik menyaksikan darah yang menggenangi ranjang istri, membasahi separuh tubuhnya. Saya cium kening dan pipi istri saya, saya bisikkan " I Love you, Mama! " Saya genggam tangan kirinya tanpa melepas handycam dan camera digital saya.
Usai sang bayi dibersihkan, lalu saya serukan Adzan di kuping kanannya, dan diukur berat badan, tinggi badan serta lingkar kepalanya, saya kembali menghampiri istri terkasih yang kini telah tampak lega dan mengaku tak ada rasa sakit yang tersisa...Plong katanya!!
Dalam rekaman detik-detik melahirkan, saya memberi narasi agar kelak saat anak saya besar, jangan pernah menyakiti perasaan Ibunya yang telah melahirkan bersimbah darah dan bertaruh nyawa....Saya berpesan agar anak-anak saya senantiasa patuh pada ucapan dan nasihat Ibunya....bahkan saya bernarasi bahwa sebagai Bapak saya rela dijadikan tumpahan kekesalan anak-anak saya jika ketika besar nanti mereka berbeda pendapat dengan Ibunya.
Saya yakin, setiap manusia yang ada di Bumi ini pernah menyiksa Ibunya dengan derita Sembilan Bulan Sepuluh Hari serta puncaknya menyakiti Ibunya dengan sakit tak terkira selama beberapa jam menjelang kelahiran mereka.
Mari membayangkan perjuanngan Ibu anda saat manusia yang sedang membaca tulisan ini terlahir ke dunia.
Doktrin Nenek, Ibu dan Guru Agama saya terasa semakin menancap di urat nadi saya.
I Love You Ibu, I Love You Istriku, Salam hormat untuk semua perempuan didunia.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar